MASUKAN PEMIKIRAN TENTANG
PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM KURIKULUM 2013
Oleh: Masyarakat Profesi
Bimbingan dan Konseling Indonesia
Terdorong oleh rasa tanggung jawab dan kehendak untuk berpartisipasi
dalam rangka implementasi Kurikulum 2013, sebagai upaya peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia, Masyarakat Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia
yang berhimpun dalam:
1. Himpunan Sarjana Bimbingan dan Konseling Indonesia (HSBKI),
unsur Himpunan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
2. Musyawarah Guru Bimbingan dan
Konseling Nasional (MGBKN)
3. Forum Komunikasi Jurusan/Program
Studi Bimbingan dan Konseling Indonesia (FK-
JPBKI)
4. Ikatan Bimbingan dan Konseling
Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
5. Ikatan Pendidik dan Supervisi
Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN),mengadakan
serangkaian diskusi tentang peran bimbingan dan konseling terkait Kurikulum
2013 dan implementasinya. Berdasarkan
hasil pemikiran bersama,Masyarakat Profesi
Bimbingan dan Konseling Indonesia menyampaikan pokok-pokok pikiran
sebagai berikut.
A. HAKIKAT
PEMINATAN DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
- Kaidah dasar yang dinyatakan secara eksplisit dalam Kurikulum 2013 yang berkaitan langsung dengan layanan bimbingan dan konseling adalah kaidah peminatan. Peminatan difahami sebagai upaya advokasi dan fasilitasi perkembangan peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya (arahan Pasal 1 ayat 1 UU No. sebatas tercapainya prestasi sesuai dengan kapasitas intelektual dan minat yang dimiliki, 20/2003) sehingga mencapai perkembangan optimum. Perkembangan optimum bukan melainkan sebagai sebuah kondisi perkembangan yang memungkinkan peserta didik mampu mengambil pilihan dan keputusan secara sehat dan bertanggung jawab serta memiliki daya adaptasi tinggi terhadap dinamika kehidupan yang dihadapinya. Dengan demikian,peminatan adalah sebuah proses yang akan melibatkan serangkaian pengambilan pilihan dan keputusan oleh peserta didik yang didasarkan atas pemahaman potensi diri dan peluang yang ada di lingkungannya. Dilihat dari konteks ini maka bimbingan dan konseling adalah “wilayah layanan yang bertujuan memandirikan individu yang normal dan sehat dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum (the Common Good) melalui (upaya) pendidikan.” (ABKIN: 2007).
2. Peminatan adalah proses yang berkesinambungan untuk memfasilitasi peserta
didik mencapai Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, dan oleh karena itu peminatan
harus berpijak pada kaidah-kaidah dasar yang secara eksplisit dan implisit,
terkandung dalam Kurikulum. Kaidah-kaidah dimaksud ialah bahwa Kurikulum 2013:
2.1. memiliki spirit kuat
untuk pemulihan fungsi dan arah pendidikan yang lebih konsisten
sesuai dengan pasal 3 UU No 20 tahun 2003, yang bermakna
bahwa watak dan peradaban
bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi tujuan eksistensial pedidikan, yang
melandasi upaya mencerdaskankehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif-kultural
pendidikan, yang diejawantahkan melalui pengembangan potensi peserta didik sebagai tujuan individual
pendidikan.
2.2. dimaksudkan untuk
menyiapkan peserta didik agar sukses dalam menghadapi berbagai tuntutan dan
tantangan kehidupan di era globalisasi dengan tetap berpijak pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2.3. menitikberatkan pada pencapaian kompetensi sikap, keterampilan,
dan pengetahuan sebagai keutuhan yang harus dicapai oleh peserta didik; dan juga tidak memisahkan antara mata pelajaran dengan
muatan lokal, pendidikan akademik, dan pendidikan karakter sebagai keutuhan
yang memberikan kemaslahatan bagi
bangsa.
2.4. memiliki spirit yang kuat untuk memulihkan proses pendidikan
sebagai proses pembelajaran yang mendidik dan wahana pengembangan karakter,
kehidupan yang demokratis, dan kemandirian sebagai softskills, serta penguasaan
sains, teknologi, dan seni sebagai
hardskills. Capaian pendidikan merupakan interaksi yang fungsional
antara efektivitas kurikulum berbasis kompetensi dan pembelajaran siswa aktif
dengan lama pembelajaran di sekolah.
2.5. memandang bahwa peserta didik aktif dalam proses pengembanganpotensi
dan perwujudan dirinya dalam
konteks sosial kultural, sehingga menuntut profesionalitas guru yang mampu
mengembangkan strategi pembelajaran yang
menstimulasi peserta didik untuk belajar lebih aktif. 2.6. menekankan penilaian berbasis proses
dan hasil. Ini berarti ukuran keberhasilan pendidikan
tidak hanya akumulasi fakta dan pengetahuan sebagai hasil dari ekspose
didaktis, tetapi juga menekankan pada proses pembelajaran yang mendidik.
2.7 tidak menyederhanakan upaya
pendidikan sebagai pencapaian targettarget kuantitatif berupa angka-angka hasil ujian
sejumlah mata pelajaran akademik saja, tanpa penilaian proses atau upaya
yang dilakukan oleh peserta didik. Kejujuran, kerja keras dan disiplin adalah
hal yang tidak boleh luput dari penilaian proses. Hasil penilaian juga harus serasi
dengan perkembangan akhlak dan karakter peserta didik sebagai makhluk individu,
sosial, warga negara dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2.7. mengakui dan menghormati adanya perbedaan kemampuan dan kecepatan
belajar peserta didik, yang secara tegas
menuntut adanya remediasi dan akselerasi secara berkala pasca penilaian,
terutama bagi peserta didik yang belum mencapai batas kompetensi yang
ditetapkan.Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan dan kecepatan yang sama
dalam mencapai kompetensi yang ditetapkan.
Memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mencapai kompetensi utuh sesuai
dengan kemampuan dan kecepatan
belajarnya adalah prinsip pendidikan yang paling fundamental. Kurikulum 2013
lebih sensitif dan respek terhadap perbedaan kemampuan dan kecepatan belajar peserta
didik.
2.8. memberikan peluang yang lebih terbuka kepada setiap peserta
didik untuk mengembangkan berbagai
potensi yang dimilikinya secara fleksibel tanpa dibatasi dengan
sekat-sekat penjurusan yang terlalu kaku.
2.9. menuntut adanya kolaborasi yang baik antara guru mata
pelajaran, guru BK/konselor dan orang tua/wali dalam mengoptimalkan potensi peserta
didik.
2.10. menekankan pada proses, mengandung implikasi peran pendidikan yang
mengarah kepada orientasi perkembangan dan pembudayaan peserta didik. Oleh
karena itu, proses pendidikan melibatkan manajemen, pembelajaran, dan bimbingan
dan konseling.
B. PERAN DAN FUNGSI BIMBINGAN
DAN KONSELING DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Bimbingan dan konseling adalah upaya pendidikan dan merupakan bagian
integral dari pendidikan yang secara
sadar memposisikan “... kemampuan peserta didik untuk mengeksplorasi,
memilih, berjuang meraih, serta mempertahankan
karier itu
ditumbuhkan secara isi-mengisi atau komplementer oleh guru bimbingan
dan konseling/ konselor dan oleh guru mata pelajaran dalam setting pendidikan khususnya dalam
jalur pendidikan formal, dan sebaliknya tidak merupakan hasil upaya yang
dilakukan sendirian oleh Konselor, atau yang dilakukan sendirian oleh Guru.”
(ABKIN: 2007).Ini berarti bahwa proses peminatan, yang difasilitasi oleh
layanan bimbingan dan konseling, tidak berakhir pada penetapan pilihan dan
keputusan bidang atau rumpun keilmuan
yang dipilih peserta didik di dalam mengembangkan potensinya, yang akan menjadi
dasar bagi perjalanan hidup dan karir selanjutnya, melainkan harus diikuti dengan
layanan pembelajaran yang mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas dan
terdiferensiasi, dan penyiapan lingkungan perkembangan/belajar yangmendukung. Dalam
konteks ini bimbingan dan konseling berperan dan berfungsi, secara kolaboratif, dalam hal-hal berikut.
1. Menguatkan Pembelajaran yang Mendidik
Untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1), 1 (2), Pasal 3, dan Pasal 4 (3)
UU No. 20
tahun 2003 secara utuh,
kaidah-kaidah implementasi Kurikulum 2013 sebagaimana dijelaskan harus
bermuara pada perwujudan suasana dan proses
pembelajaran mendidik yang memfasilitasi perkembangan potensi
peserta didik.
Suasana belajar dan proses pembelajaran dimaksud pada hakikatnya
adalah proses mengadvokasi dan memfasilitasi perkembangan peserta didik yang
dalam implementasinya memerlukan penerapan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling harus meresap ke
dalam kurikulum dan pembelajaran untuk
mengembangkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan potensi peserta
didik. Untuk mewujudkan lingkungan belajar
dimaksud, guru hendaknya: (1) memahami
kesiapan belajar peserta didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling
dalam pembelajaran, (2) melakukan asesmen potensi peserta didik, (3)
melakukan diagnostik kesulitan perkembangan
dan belajar peserta didik, (4) mendorong
terjadinya internalisasi nilai sebagai
proses individuasi peserta didik.
Perwujudan keempat prinsip yang disebutkan dapat dikembangkan melalui
kolaborasi pembelajaran dengan bimbingan dan konseling.
2. Memfasilitasi Advokasi dan Aksesibilitas
Kurikulum 2013 menghendaki adanya diversifikasi layanan, jelasnya
layanan
peminatan. Bimbingan dan konseling berperan melakukan advokasi,
aksesibilitas,
dan fasilitasi agar terjadi
diferensiasi dan diversifikasi layanan pendidikan bagi
pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir peserta didik. Untuk
itu kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran
perlu dilaksanakan dalam bentuk: (1)
memahami potensi dan pengembangan kesiapan belajar peserta didik, (2) merancang
ragam program pembelajaran dan melayani
kekhususan kebutuhan peserta didik,
serta (3) membimbingperkembangan pribadi, sosial,
belajar dan karir.
3. Menyelenggarakan Fungsi Outreach
Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan, sesuai
dengan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan
pembudayaan. Untuk mendukung prinsip dimaksud bimbingan dan konseling tidak
cukup menyelenggarakan fungsi-fungsi
inreach tetapi juga melaksanakan fungsi outreach yang berorientasi pada
penguatan daya dukung lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar. Dalam
konteks ini kolaborasi guru bimbingan
dan konseling/konselor dengan guru
mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks kolaborasi yang lebih
luas, antara lain: (1) kolaborasi dengan orang tua/keluarga, (2)
kolaborasi dengan dunia kerja dan lembaga pendidikan, (3) “intervensi” terhadap
institusi terkait lainnya dengan tujuan membantu perkembangan peserta
didik.
C. EKSISTENSI BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM IMPLEMENTASI
KURIKULUM 2013
Keberadaan Bimbingan dan konseling dalam pendidikan di Indonesia, sesungguhnya
sudah dimulai sejak tahun 1964, yang disebut “Bimbingan dan Penyuluhan” ketika
diberlakukan “Kurikulum Gaya Baru.”Bimbingan dan Penyuluhan pada waktu itu dipandang sebagai unsur
pembaharuan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sejak diberlakukan Kurikulum Tahun
1975, pelayanan bimbingan dan penyuluhan telah dijadikan sebagai
bagian integral dari keseluruhan upaya
pendidikan. Petugas yang secara khusus melaksanakan pelayanan bimbingan
dan konseling pada saat itu disebut Guru Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP).Sejak
diberlakukannya kurikulum 1994, sebutan untuk Guru BP berubah menjadi Guru Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat
dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84
Tahun 1995 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya,
serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.025/0/1995 tentang
Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya antara lain mengandung arahan dan ketentuan pelaksanaan pelayanan
bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan guru
pembimbing di SLTP dan SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut mengandung hal-hal yang berkenaan dengan
pelayanan bimbingan dan konseling, tetapi tugas itu dinyatakan sebagai tugas
guru (dengan sebutan guru pembimbing) dan tidak secara eksplisit
dinyatakan sebagai tugas konselor. Hal ini dapat dipahami karena
sebutan konselor belum ada dalam perundangan. Penggunaan sebutan guru, sangat merancukan
konteks tugas guru yang mengajar dan konteks tugas konselor sebagai
penyelenggara pelayanan ahli bimbingan dan konseling. Guru pembimbing yang pada
saat ini ada di lapangan pada hakikatnya melaksanakan tugas sebagai konselor,
tetapi sering diperlakukan dan diberi tugas layaknya guru mata
pelajaran. Bimbingan dan konseling
bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan belajar mengajar di kelas
yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan
pelayanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (ABKIN: 2007). Dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006), posisi dan arah layanan bimbingan
dan konseling di sekolah sesungguhnya mengalami kemunduran, karena adanya
pemahaman tentang konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak
menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya, dengan
ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi pelajaran sebagai konteks
layanan keahliannya. Bimbingan dan konseling dibawa ke wilayah pembelajaran
yang berpayung pada standar isi,
bimbingan dan konseling menjadi bagian dari standar isi yang dituangkan
menjadi pengembangan diri dan menjadi salah satu komponen kurikulum.Sebagaimana
telah dinyatakan bahwa layanan bimbingan dan konseling disekolah merupakan
bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan dalam
jalur pendidikan formal dan layanan ini meskipun dilakukan oleh
pendidik yang
disebut sebagai konselor, tetapi ekspektasi kinerja profesionalnya
berbeda dengan ekspektasi kinerja profesional yang dilakukan oleh guru. Jika
ekspektasi kinerja guru menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya,
maka ekspektasi kinerja konselor tidak demikian. Ekspektasi kinerja konselor
tidak meggunakan materi pelajaran dalam koteks layanan keahliannya (bimbingan
dan konseling), melainkan menggunakan proses pengenalan diri peserta didik (konseli) dengan memahami
kekuatan dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan yang terdapat dalam ligkungannya,
untuk menumbuhkembangkan kemandirian dalam mengambil berbagai keputusan penting
dalam perjalanan hidupnya, sehingga mampu memilih, meraih serta mempertahankan
karir (kemajuan hidup) untuk mencapai hidup
yang efektif, produktif, dan sejahtera dalam konteks kemaslahatan umum.Bimbingan
dan konseling merupakan upaya proaktif
dan sistematik dalam memfasilitasi
peserta didik mencapai tingkat
perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku efektif, pengembangan
lingkungan perkembangan, dan peningkatan keberfungsian individu di dalam
lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan,
yakni proses interaksi antara individu dengan lingkunganperkembangan melalui
interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan
tanggung jawab untuk mengembangkan lingkungan perkembangan, membangun interaksi
dinamis antara individu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk mengembangkan,
memperbaiki, dan memperhalus perilaku. Posisi bimbingan dan konseling dalam
jalur pendidikan formal seperti tertera pada Gambar 1, mengindikasikan bahwa
pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari program
pendidikan. Dengan demikian, posisi guru bimbingan dan konseling (dalam Pasal 1
ayat 6 UU RI No. 20/2003 disebut konselor) sejajar dengan guru bidang
studi/mata pelajaran dan administrator Sekolah/Madrasah. Demikian pula dalam
Permendiknas No. 22/2006 menempatkan
pelayanan bimbingan dan konseling
sebagai bagian integral dari standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah.
Gambar 1. Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan
Merujuk pada UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
sebutan
untuk guru pembimbing
dinyatakan dalam sebutan ‟Konselor.”
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai
salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong
belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU RI No. 20/2003,
pasal 1 ayat 6). Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara
tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap
tenaga pendidik,
termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja,
dan settingpelayanan spesifik yang
mengandung keunikan dan perbedaan.
D. PRINSIP DASAR LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
1. Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling
Bimbingan adalah upaya/proses fundamental pada setiap ikhtiar
pendidikan, baik
pendidikan formal, non-formal maupun informal. Dalam ketiga bentuk
pendidikan
tersebut, proses bimbingan (guidance) dipastikan selalu melekat di
dalamnya.
Berbeda dengan pengajaran, yang tidak selalu harus ada di dalam
setiap bentuk
pendidikan tersebut. Bimbingan pada
hakikatnya merupakan proses
memfasilitasi pengembangan nilai-nilai inti karakter melalui proses interaksi
yang empatik antara konselor (guru bimbingan dan konseling) dengan peserta didik, dimana konselor membantu peserta didik
untuk mengenal kelebihan dan kelemahan
dalam berbgai aspek perkembangan dirinya, memahami peluang dan tantangan yang ditemukan
di lingkungannya, serta mendorong penumbuhan kemandirian peserta didik
(konseli) untuk mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya
secara bertanggung jawab dan mampu
mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, bahagia serta peduli terhadap
kemaslahatan umat manusia.Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata
terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau
ketentuan dari atas, tetapiyang lebih penting adalah menyangkut upaya
memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau
mencapai tugas-tugas perkembangannya dalam aspek fisik, emosi, intelektual,
sosial, dan moralspiritual.
Di manapun proses pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses perkembangan,
karena setiap peserta didik adalah seorang individu yang sedang
berada dalam proses berkembang atau menjadi (on-becoming), yaitu berkembang
ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut,
peserta didik memerlukan bimbingan (guidance), agar memiliki pemahaman yang
baik tentang dirinya dan lingkungannya serta
pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Alasan lain adalah adanya
perbedaan individual pada peserta didik dan keniscayaan bahwa proses
perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus, dalam alur
yang lurus, searah dengan potensi, harapan dan nilainilai
yang dianut. Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan,
baik fisik, psikis maupun sosial yang selalu berubah dan mempengruhi gaya hidup
(life style). Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Pertumbuhan jumlah
penduduk yang cepat, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi
teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan
struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya
tayanganpornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi,
minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak
harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat
mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup peserta didik (terutama pada usia
remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia),
seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman
keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika,
ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free
sex).Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena
tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan,
seperti yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU RI No. 20 Tahun
2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan
keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki
kepribadian yang mantap dan mandiri, serta
(6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan
tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat
satuan pendidikan untuk senantiasa
memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan
pendidikan tersebut.
Dalam abad 21 ini, setiap
peserta didik dihadapkan pada situasi kehidupan yang kompleks dan penuh tantangan. Dalam
konstelasi kehidupan seperti ini, setiap peserta didik memerlukan berbagai
kompetensi hidup agar mampu menjadi individu yang efektif, produktif dan
bermaslahat bagi orang lain.
Untuk mengembangkan kompetensi hidup seperti ini, maka sistem
pelayanan
pendidikan di sekolah yang efektif tidak cukup hanya dengan
mengandalkan
pelayanan manajemen dan pembelajaran mata pelajaran saja,
melainkan perlu disertai dengan
pelayanan bantuan khusus yang lebih bersifat psiko-pedagogisberbasis kepakaran.
Layanan bantuan khusus (berbasis kepakaran)membantu peserta didik agar mampu
menghindari perilaku negatif dan pada saat yang sama mampu mengembangkan
perilaku normatif dan efektif untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan bermanfaat
bagi dirinya dan orang lain.Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang
tidak diharapkan seperti disebutkan di atas, adalah dengan mengembangkan
potensi peserta didik dan memfasilitasi mereka
secara sistematik, terprogram dan kolaboratif untuk mampu mencapai
standarkompetensi nilai perkembangan/perilaku atau karakter yang diharapkan.
Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus
dilakukan secara proaktif, intensional dan kolaboratif yang diselenggarakan dengan
berbasis data perkembangan peserta didik secara komprehensif dalam berbagai aspek kehidupannya. Dengan
demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan
tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang
instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingandan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan
bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan
konseling, hanya akan menghasilkan peserta didik yang pintar dan
terampil
dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau
kematangan
dalam aspek kepribadian.Pelayanan bimbingan dan konseling didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan
pengentasan masalahmasalah peserta didik sebagai suatu keutuhan yang
diselenggarakan secara intensif dan kolaboratif. Tugas-tugas perkembangan
dirumuskan sebagai standar kompetensi
belajar, pribadi, sosial dan moral-spiritual, serta karir yang harus dicapai tiap
peserta didik sesuai usia kronologisnya, sehingga pendekatan ini disebut
juga sebagai bimbingan dan konseling berbasis nilai-nilai inti karakter. Standar dimaksud
adalah standar kompetensi kemandirian yang telah dirumuskan berdasarkan hasil
penelitian selama 5 tahun dan telah diimplementasikan di berbagai jenjang dan
jalur pendidikan. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi
antara guru bimbingan dan konseling/ konselor dengan para personal
Sekolah/Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf
administrasi), orang tua peserta didik, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara
keseluruhan dalam upaya membantu para peserta didik agar dapat mengembangkan
atau mewujudkan potensi dirinya secara utuh, baik menyangkut aspek pribadi,
sosial, belajar, maupun karir. Atas
dasar itu, maka implementasi bimbingan
dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi
perkembangan potensi peserta didik, yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar,
dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi peserta didik sebagai
makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan
spiritual).
2. Kolaborasi Guru Bimbingan
dan Konseling/Konselor, Guru
Matapelajaran dan Orang Tua
dalam Pengembangan Kemandirian
sebagai Nilai Inti Karakter
Pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan membantu peserta didik
dalam pengenalan diri, pengenalan lingkungan dan pengambilan keputusan, serta memberikan
arahan terhadap perkembangan peserta didik;
dan tidak hanya untuk peserta
didik bermasalah tetapi menyangkut seluruh peserta didik. Pelayanan bimbingan
dan konseling tidak terbatas pada peserta didik tertentu atau yang perlu „dipanggil‟
saja”, melainkan untuk seluruh peserta didik (Guidance and counseling
for all).Di dalam Permendiknas No. 23 tahun
2006 dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai
peserta didik melalui proses pembelajaranbidang studi, maka kompetensi peserta
didik yang harus dikembangkan
melalui pelayanan bimbingan dan
konseling adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) untuk mewujudkan
diri (self actualization) dan pengembangan
kapasitasnya (capacity development) yang
dapat mendukung pencapaian kompetensi lulusan. Sebaliknya, kesuksesan peserta
didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang terwujudnya
pengembangan kemandirian.
Dalam hal ini kerjasama antara guru bimbingan dan konseling/konselor
dengan guru mata pelajaran merupakan
suatu keharusan. Persamaan, keunikan, dan
keterkaitan wilayah pelayanan guru mata pelajaran dan
guru bimbingan dan konseling/ konselor dalam konteks pencapaian standar
kompetensi peserta didik disajikan pada Gambar 2.
PERKEMBANGAN OPTIMUM
PESERTA DIDIK:
BELAJAR, PRIBADI, SOSIAL
DAN KARIR
Gambar 2. Hubungan Kolaboratif Wilayah Kerja
Guru bimbingan dan konseling/Konselor dan Guru
Matapelajaran
Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh
dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh guru
mata pelajaran, guru bimbingan dan
konseling/konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara
itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam
mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam
hubungan fungsional kemitraan (kolaboratif)
antara guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran,
antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan (referal). Masalah-masalah
perkembangan peserta didik yang dihadapi guru mata pelajaran pada saat
pembelajaran dirujuk kepada guru
bimbingan dan konseling/konselor untuk penanganannya. Demikian pula masalah
yang ditangani guru bimbingan dan konseling/konselor dirujuk kepada guru mata pelajaranuntuk menindaklanjutinya
apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata pelajaran. Masalah
kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari
proses pembelajaran itu sendiri. Ini berarti bahwa di dalam pengembangan dan
proses pembelajaran bermutu, fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu
mendapat perhatian guru mata pelajaran,
dan sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran mata pelajaran perlu mendapat
perhatian guru bimbingan dan konseling/konselor. Layanan bimbingan dan konseling diperuntukan
bagi semua (guidance and counseling for
all), dan oleh karena itu tidaklah tepat jika orientasinya hanya kepada
pemecahan masalah, melainkan mencakup orientasi pengembangan (developmental)
dan pemeliharaan (maintanance) serta pencegahan (preventive)secara menyeluruh.
Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya memfasilitasi perkembangan
individu (dalam aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir) ke arah kemandirian (dalam hal
menetapkan pilihan, mengambil keputusan, dan tanggung jawab atas pilihan dan
keputusan sendiri) untuk mewujudkan diri (self-realization) dan mengembangkan
kapasitas (capacity development). Prinsip bimbingan dan konseling untuk semua
mengandung arti bahwa target populasi layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal termasuk
para peserta didik yang berbakat dan berkebutuhan khusus, terutama yang
memiliki kecakapan intelektual normal.
Layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus akan amat
erat kaitannya dengan kegiatan hidup sehari-hari (daily living activities) yang tidak
terisolasi dari konteks. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling
bagi anak berkebutuhan khusus merupakan layanan intervensi tidak langsung yang
akan lebih terfokus pada upaya mengembangkan lingkungan perkembangan
(inreach maupun outreach) bagi
kepentingan dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik, yang akan melibatkan
banyak pihak di dalamnya terutama guru pendidikan khusus dan orang tua. Demikian
pula bimbingan dan konseling bagi anak berbakat, tidak
diperlakukan dan dipandang
sebagai upaya yang luar biasa, melainkan dilihat sebagai bagian dari upaya
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, baik di tingkat satuan pendidikan maupun
individual. Oleh karena itu, pencapaian prestasi luar biasa misalnya prestasi
dalam olimpiade fisika, olimpiade matematika dan dalam berbagai mata pelajaran
lain, sejajar dengan keberbakatan bidang olah raga, misalnya bulutangkis, tinju, catur, yang memang
memerlukan takaran latihan lebih dari yang diperlukan oleh peserta didik pada
umumnya. Di bidang pendidikan pada umumnya, sebagai hasil pendidikan nasional,
diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat dan dituntun
keimanan, yang menghargai keragaman dalam ragam kehidupan berbangsa (bhineka),
akrab dan fasih iptek serta menguasai softskills, serta bugar scara fisik di
samping memiliki kebiasaan hidup sehat.
E. KERANGKA PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM
KURIKULUM2013
Merujuk Gambar 1 tentang posisi bimbingan dan konseling
dalam pendidikan, konteks tugas konselor
dalam pendidikan adalah dalam proses pengenalan diri oleh pesera didik
(konseli) beserta peluang dan tantangan yang ditemukannya dalam lingkungan, sehingga peserta didik
mandiri mengambil keputusan penting perjalanan hidupnya (belajar, pribadi,
sosial dan karir) dalam rangka mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera,
dan bahagia serta peduli kepada kemaslahatan umum, melalui berbagai upaya yang
dinamakan pedidikan. Fokus layanan bimbingan dan konseling adalah
menumbuh-kembangkan kompetensi kemandirian sebagai nilai inti karakter. Dalam
konteks ini, perlu dikembangkan: (a) sikap dan
berperilaku baik, jujur dan etis; (b) belajar bertanggungjawab; (c)
disiplin, kerja keras dan efisien; (d) kesadaran kultural sebagai warganegara,
seperti peduli, toleran, saling menghargai; dan (e) peningkatan pengetahuan dan
keterampilan hidup sesuai dengan tingkat perkembangan.Program bimbingan dan
konseling di sekolah bukan merupakan aktivitasbekstrakurikuler, melainkan
merupakan suatu program yang secara sistematis diarahkan untuk
mengoptimalkan pencapaian kompetensi
perkembangan setiap peserta didik dalam aspek pribadi, sosial, belajar dan
karirnya secara utuh dimana nilai inti karakter melekat di dalam semua bidang
layanan tersebut.Konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan target populasi layanan
bimbingan dan konseling, sebagai layanan ahli, seorang guru bimbingan dan
konseling/konselor memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan
layanan bimbingan dan konseling yang berorientasi pengembangan dan pemeliharaan
karakter, dan melayani seluruh peserta didik, dengan kerangka program kerja
utuh yang meliputi komponen-komponen sebagai
berikut. Layanan Dasar, yaitu layanan yang bersifat antisipatoris,
preventif dan pengembangan. Layanan ini diperuntukan bagi semua peserta didik
tanpa terkecuali. Layanan dasar
diarahkan untuk pengembangan
kompetensi perkembangan sesuai
dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan peserta didik. Layanan ini dapat
dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling/konselor sendiri maupun dengan
kolaborasi antara guru bimbingan dan konseling/konselor, guru mata
pelajaran, orang tua, dan pakar
yang berada di luar sekolah.
Bentuk layanan yang diupayakan antara lain:
(1) Penyelenggaraan asesmen dalam berbagai aspek perkembangan seperti data demografis, hasil
belajar, bakat, minat, kecerdasan, kepribadian, kebiasaan belajar dan jaringan
hubungan sosial;
(2) Advokasi dan fasilitasi
pemilihan rumpun/bidang keilmuan yang diminati melalui proses konseling,
konsultasi dan layanan lain yang relevan.
(3) Bimbingan klasikal atau
bimbingan kelompok yang
diselenggarakan secara regular dan
terjadual dengan menggunakan metode dan teknik khas bimbingan dan konseling
yang menarik, interaktif, menyenangkan, dan reflektif. Jika diperlukan, bimbingan klasikal dimaksud
bisa dilakukan secara kolaboratif bersama guru bidang studi pada saat
pembelajaran berlangsung.
(4) Pengembangan perilaku jangka
panjang yang menunjang kesuksesan belajar, pengembangan pribadi dan sosial, dan
karir peserta didik. Layanan ini dilakukan dengan “membelajarkan” peserta didik
atas topik-topik yang relevan dengan kebutuhan peserta didik seperti sikap dan keterampilan belajar, pemecahan masalah,
hubungan sosial, keterampilan komunikasi yang efektif, negosiasidan manajemen
konflik, pengembngan sikap toleran, kepercayaan diri, konsep diri, pengendalian
emosi, kerja sama, perilaku etis, kreativitas, disiplin, Say No to Drugs, dan sebagainya.
(5) Pengembangan instrumen bimbingan
dan konseling dan penggunaannya untuk asesmen perkembangan baik dalam kegiatan
khusus maupun kegiatan tatap muka terjadwal di kelas sangat diperlukan untuk
implementasi komponen ini. Mengacu kepada prinsip kolaborasi guru mata pelajaran bisa mendukung pencapaian kompetensi belajar
peserta didik melalui pengembangan
nuturant effect pembelajaran.Layanan Responsif, yaitu layanan yang
dimaksudkan untuk membantu peserta didik memecahkan masalah (pribadi, sosial,
belajar, karir) yang dihadapinya pada saat ini dan memerlukan pemecahan segera.
Penggunaan instrumen pemahaman peserta didik diperlukan untuk mendeteksi
masalah apa yang perlu dientaskan. Di sinilah layanan konseling individual
maupun kelompok diperlukan dengan segala perangkat pendukungnya.Layanan
Perencanaan Individual, yaitu layanan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi
peserta didik secara individual di dalam merencanakan masa depannya berkenaan
dengan kehidupan akademik maupun karir. Pemahaman peserta didik secara mendalam
dengan segala karakteristiknya dan penyediaan informasi yang akurat sesuai
dengan peluang dan potensi yang dimiliki peserta didik amat diperlukan,
sehingga peserta didik mampu memilih dan mengambil keputusan yang tepat dalam mengembangkan potensinya secara optimal,
termasuk peminatan, keberbakatan, dan kebutuhan khusus peserta
didik.Kegiatan orientasi, informasi, konseling individual, rujukan, kolaborasi,
dan advokasi diperlukan dalam
implementasi layanan ini.Dukungan Sistem dan Kolaboratif, yaitu kegiatan yang
terkait dengan dukungan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya
Teknologi Informasi dan Komunikasi), kolaborasi atau konsultasi dengan berbagai
pihak yang dapat membantu peserta didik, pelatihan pembelajaran bernuansa
bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran, termasuk pengembangan
kemampuan guru BK/konselor secara berkelanjutan sebagai profesional.Pengaturan
proporsi layanan setiap komponen program bimbingan dan konseling di
sekolah dalam Kurikulum 2013 dapat
diatur dalam pedoman berikut.
BENTUK LAYANAN SD SMP SMA/SMK
Layanan Dasar 35 – 45 % 25
– 35 % 15 – 25 %
Layanan Responsif 30
– 40 % 30 - 40 % 25
– 35 %
Layanan Perencanaan
Individual 15 – 10 % 15 – 25 % 25
– 35 %
Dukungan Sistem dan
Kolaboratif 10
– 15 % 10 – 15 % 15 – 20 %
Dengan rasio guru bimbingan dan konseling/Konselor dibanding peserta didik =1:150 dan dengan beban tugas
24 - 40 jam/minggu (PP No. 74/2008 tentang Guru) maka perhitungan ekuwivalensi
tugas guru bimbingan dan konseling/ konselor
24 -40 jam dan 150 siswa perminggu sebagai berikut.
BENTUK LAYANAN BIMBINGAN PEMBAGIAN WAKTU
PELAYANA DI SMA/SMK
24 – 40 jam kerja
Layanan Dasar 20 % X (24 - 40
jam kerja) = 5 – 8
jam kerja
Layanan Responsif 35 % X (24 – 40 jam kerja) = 8 –
14 jam kerja
Layanan Perencanaan Individual 30
% X (24 - 40 jam kerja) = 7 –
12 jam kerja
Dukungan sistem dan Kolaboratif 15
% X (24 - 40 jam kerja)
= 4 – 6 jam kerja
F. PENGEMBANGAN PEDOMAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Rumusan kompetensi
perkembangan atau kemandirian, dan kerangka program layanan bimbingan dan
konseling sudah ada pada buku yang
disiapkan oleh ABKIN bersama dan atas dukungan Direktorat Jenderal PMPTK,
yakni RambuRambu Penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (ABKIN; Ditjen
PMPTK: 2008). Untuk selanjutnya pedoman
umum tersebut perlu dikembangkan lebih operasional berupa:1. Pedoman
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar dan Sederajat.
2. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Menengah Pertama dan Sederajat.
3. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Menengah
Atas dan Sederajat.
4. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Menengah
Kejuruan dan Sederajat.
G. PENYIAPAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING/KONSELOR
PROFESIONAL
Kebutuhan Guru Bimbingan dan Konseling sebanyak 92.572 sebagaimana
diberitakan Harian Kompas
(Rabu, 23 Januari 2013), menghendaki penyiapan Guru Bimbingan dan
Konseling/Konselor secara sungguh-sungguh dan profesional. Dengan berpayung
pada UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, penyiapan guru bimbingan dan
konseling/konselor profesional disiapkan di LPTK melalui pendidikan akademik S1
bidang Bimbingan dan Konseling dan Pendidikan Profesi Konselor sebagai suatu
keutuhan sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 27/2008 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN.
Depdiknas RI, 2008, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan
Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Ditjen PMPTK, 2007, Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan
dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Harian Kompas, 23 Januari 2013, “Sekolah kekurangan 92.572 Guru
Bimbingan dan Konseling.”
Peraturan Pemerintah RI, 2005, Nomor 19 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Peraturan Pemerintah RI, 2008, Nomor 74 tentang Guru.
Permendiknas RI, 2008, Nomor 27 tentang Standar Kualifikasi akademik dan Kompetensi
Konselor.
Permendiknas RI, 2009, Nomor 8 tentang Program Pendidikan Profesi
Guru Pra jabatan.UU RI, 2003, Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bandung, 25 Januari 2013
Kami yang bertanda tangan :
1. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Himpunan Sarjana Bimbingan dan Konseling Indonesia
(HSBKI), unsur Himpunan Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia (ISPI)Prof. Furqon, M.Pd., MA., Ph.D. = ……………………………
2. Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Musyawarah Guru Bimbingan
dan Konseling Nasional (MGBK N)Syamsudin, M.Pd
=
………………………
3. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Forum Komunikasi
Jurusan/Program Studi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (FK- JPBKI)
Dr. Nandang Rusmana, M.Pd.
=
……………………..
4. Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Ikatan Bimbingan dan
Konseling Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN)Drs. Amdani Sarjun, M.Pd.
= …………………………
5. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Sekretaris Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling
(IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)Dr. Agus
Taufiq, M.Pd.
= ……………………