Kamis, 28 Februari 2013

MASUKAN PEMIKIRAN TENTANG PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM KURIKULUM 2013


MASUKAN PEMIKIRAN TENTANG
PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM KURIKULUM 2013

Oleh: Masyarakat Profesi  Bimbingan dan Konseling Indonesia

Terdorong oleh rasa tanggung jawab dan kehendak untuk berpartisipasi dalam rangka implementasi Kurikulum 2013, sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, Masyarakat Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia yang berhimpun dalam:

1. Himpunan Sarjana  Bimbingan dan Konseling Indonesia (HSBKI), unsur Himpunan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
2. Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling Nasional  (MGBKN)
3. Forum Komunikasi Jurusan/Program Studi  Bimbingan dan Konseling Indonesia (FK- JPBKI)
4. Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
5. Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN),mengadakan serangkaian  diskusi tentang  peran bimbingan dan konseling terkait Kurikulum 2013 dan implementasinya.   Berdasarkan hasil pemikiran bersama,Masyarakat Profesi  Bimbingan dan Konseling Indonesia menyampaikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut. 

A.    HAKIKAT PEMINATAN DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

  1. Kaidah dasar yang dinyatakan secara eksplisit dalam Kurikulum 2013 yang berkaitan langsung dengan layanan bimbingan dan konseling adalah kaidah peminatan.  Peminatan difahami sebagai upaya advokasi dan fasilitasi perkembangan peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya (arahan Pasal 1 ayat 1 UU No. sebatas tercapainya prestasi sesuai dengan kapasitas intelektual dan minat yang dimiliki, 20/2003) sehingga mencapai perkembangan optimum.  Perkembangan optimum bukan melainkan sebagai sebuah kondisi perkembangan yang memungkinkan peserta didik mampu mengambil pilihan dan keputusan secara sehat dan bertanggung jawab  serta  memiliki daya adaptasi tinggi terhadap dinamika kehidupan yang dihadapinya. Dengan demikian,peminatan adalah sebuah proses yang akan melibatkan serangkaian pengambilan pilihan dan keputusan oleh peserta didik yang didasarkan atas pemahaman potensi diri dan peluang yang ada di lingkungannya. Dilihat dari konteks ini maka bimbingan dan konseling adalah “wilayah layanan yang bertujuan memandirikan individu yang normal dan sehat dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum (the Common Good) melalui (upaya) pendidikan.”  (ABKIN: 2007).

2.  Peminatan adalah proses yang berkesinambungan untuk memfasilitasi peserta didik mencapai Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, dan oleh karena itu peminatan harus berpijak pada kaidah-kaidah dasar yang secara eksplisit dan implisit, terkandung dalam Kurikulum. Kaidah-kaidah dimaksud ialah bahwa Kurikulum 2013:
2.1. memiliki spirit  kuat untuk pemulihan fungsi dan arah pendidikan yang lebih  konsisten  sesuai dengan pasal 3 UU No 20 tahun 2003,  yang bermakna  bahwa  watak dan peradaban bangsa  yang  sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi tujuan eksistensial pedidikan, yang melandasi upaya mencerdaskankehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif-kultural pendidikan, yang diejawantahkan melalui pengembangan potensi  peserta didik sebagai tujuan individual pendidikan.
2.2. dimaksudkan  untuk menyiapkan peserta didik agar sukses dalam menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan di era globalisasi dengan tetap berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2.3. menitikberatkan pada pencapaian kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan sebagai keutuhan yang harus dicapai oleh peserta didik; dan juga  tidak memisahkan antara mata pelajaran dengan muatan lokal, pendidikan akademik, dan pendidikan karakter sebagai keutuhan yang memberikan  kemaslahatan bagi bangsa.
2.4. memiliki spirit yang kuat untuk memulihkan proses pendidikan sebagai proses pembelajaran yang mendidik dan wahana pengembangan karakter, kehidupan yang demokratis, dan kemandirian sebagai softskills, serta penguasaan sains, teknologi, dan seni sebagai  hardskills. Capaian pendidikan merupakan interaksi yang fungsional antara efektivitas kurikulum berbasis kompetensi dan pembelajaran siswa aktif dengan lama pembelajaran di sekolah.
2.5. memandang bahwa peserta didik aktif dalam proses pengembanganpotensi dan perwujudan dirinya dalam  konteks  sosial  kultural, sehingga menuntut  profesionalitas guru yang mampu mengembangkan  strategi pembelajaran yang menstimulasi peserta didik untuk belajar lebih aktif.  2.6. menekankan penilaian berbasis proses dan  hasil.  Ini berarti ukuran keberhasilan pendidikan tidak hanya akumulasi fakta dan pengetahuan sebagai hasil dari ekspose didaktis, tetapi juga menekankan pada proses pembelajaran yang mendidik.
2.7 tidak menyederhanakan upaya  pendidikan sebagai pencapaian targettarget kuantitatif  berupa angka-angka  hasil ujian  sejumlah mata pelajaran akademik saja, tanpa penilaian proses atau upaya yang dilakukan oleh peserta didik. Kejujuran, kerja keras dan disiplin adalah hal yang tidak boleh luput dari penilaian proses. Hasil penilaian juga harus serasi dengan perkembangan akhlak dan karakter peserta didik sebagai makhluk individu, sosial, warga negara dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2.7. mengakui dan menghormati adanya perbedaan kemampuan dan kecepatan belajar peserta didik, yang  secara tegas menuntut adanya remediasi dan akselerasi secara berkala pasca penilaian, terutama bagi peserta didik yang belum mencapai batas kompetensi yang ditetapkan.Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan dan kecepatan yang sama dalam mencapai kompetensi yang ditetapkan.  Memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mencapai kompetensi utuh sesuai dengan  kemampuan dan kecepatan belajarnya adalah prinsip pendidikan yang paling fundamental. Kurikulum 2013 lebih sensitif dan respek terhadap perbedaan kemampuan dan kecepatan belajar peserta didik. 
2.8. memberikan peluang yang lebih terbuka kepada setiap peserta didik untuk mengembangkan berbagai  potensi yang dimilikinya secara fleksibel tanpa dibatasi dengan sekat-sekat penjurusan yang terlalu kaku.
2.9. menuntut adanya kolaborasi yang baik antara guru mata pelajaran, guru BK/konselor dan orang tua/wali dalam mengoptimalkan potensi peserta didik.
2.10. menekankan pada proses, mengandung implikasi peran pendidikan yang mengarah kepada orientasi perkembangan dan pembudayaan peserta didik. Oleh karena itu, proses pendidikan melibatkan manajemen, pembelajaran, dan bimbingan dan konseling.

B. PERAN DAN FUNGSI  BIMBINGAN DAN KONSELING  DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

Bimbingan dan konseling adalah upaya pendidikan dan merupakan bagian integral dari pendidikan yang  secara sadar  memposisikan “...  kemampuan peserta didik untuk mengeksplorasi, memilih, berjuang meraih, serta mempertahankan  karier itu
ditumbuhkan secara isi-mengisi atau komplementer oleh guru bimbingan dan konseling/ konselor dan oleh guru mata pelajaran  dalam setting pendidikan khususnya dalam jalur pendidikan formal, dan sebaliknya tidak merupakan hasil upaya yang dilakukan sendirian oleh Konselor, atau yang dilakukan sendirian oleh Guru.” (ABKIN: 2007).Ini berarti bahwa proses peminatan, yang difasilitasi oleh layanan bimbingan dan konseling, tidak berakhir pada penetapan pilihan dan keputusan bidang atau rumpun keilmuan  yang dipilih peserta didik di dalam mengembangkan potensinya, yang akan menjadi dasar bagi perjalanan hidup dan karir selanjutnya, melainkan harus diikuti dengan layanan pembelajaran yang mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas dan terdiferensiasi, dan penyiapan lingkungan perkembangan/belajar yangmendukung. Dalam konteks ini bimbingan dan konseling berperan dan berfungsi, secara kolaboratif,  dalam hal-hal berikut.

1. Menguatkan Pembelajaran yang Mendidik
Untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1), 1 (2), Pasal 3, dan Pasal 4 (3) UU No. 20
tahun  2003 secara utuh, kaidah-kaidah  implementasi  Kurikulum 2013 sebagaimana dijelaskan harus bermuara pada perwujudan suasana dan proses
pembelajaran mendidik yang memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik.
Suasana belajar dan proses pembelajaran dimaksud pada hakikatnya adalah proses mengadvokasi dan memfasilitasi perkembangan peserta didik yang dalam implementasinya memerlukan penerapan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling.  Bimbingan dan konseling harus meresap ke dalam kurikulum  dan pembelajaran untuk mengembangkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan potensi peserta didik.  Untuk mewujudkan lingkungan belajar dimaksud, guru  hendaknya: (1) memahami kesiapan belajar peserta didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling dalam pembelajaran, (2) melakukan asesmen potensi peserta didik, (3) melakukan  diagnostik kesulitan perkembangan dan  belajar peserta didik, (4) mendorong terjadinya internalisasi nilai  sebagai proses individuasi peserta didik.  Perwujudan keempat prinsip yang disebutkan dapat dikembangkan melalui kolaborasi pembelajaran dengan bimbingan dan konseling.
2. Memfasilitasi Advokasi dan Aksesibilitas
Kurikulum 2013 menghendaki adanya diversifikasi layanan, jelasnya layanan
peminatan. Bimbingan dan konseling berperan melakukan advokasi, aksesibilitas,
dan fasilitasi agar  terjadi diferensiasi dan diversifikasi layanan pendidikan bagi
pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir peserta didik. Untuk itu kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran perlu  dilaksanakan dalam bentuk: (1) memahami potensi dan pengembangan kesiapan belajar peserta didik, (2) merancang ragam program pembelajaran dan  melayani kekhususan kebutuhan peserta didik,  serta  (3)  membimbingperkembangan pribadi, sosial, belajar dan karir.
3. Menyelenggarakan Fungsi Outreach
Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan, sesuai dengan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan  pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Untuk mendukung prinsip dimaksud bimbingan dan konseling tidak cukup menyelenggarakan fungsi-fungsi  inreach tetapi juga melaksanakan fungsi outreach yang berorientasi pada penguatan daya dukung lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar. Dalam konteks ini kolaborasi  guru bimbingan dan konseling/konselor  dengan  guru  mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks kolaborasi yang lebih luas, antara lain: (1) kolaborasi dengan orang tua/keluarga, (2) kolaborasi  dengan  dunia kerja dan  lembaga pendidikan, (3) “intervensi” terhadap institusi  terkait lainnya  dengan tujuan membantu perkembangan peserta didik.




C. EKSISTENSI BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM IMPLEMENTASI
KURIKULUM 2013

Keberadaan Bimbingan dan konseling dalam pendidikan di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1964, yang disebut “Bimbingan dan Penyuluhan” ketika diberlakukan “Kurikulum Gaya Baru.”Bimbingan dan Penyuluhan  pada waktu itu dipandang sebagai unsur pembaharuan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.  Sejak diberlakukan Kurikulum Tahun
1975, pelayanan bimbingan dan penyuluhan telah dijadikan sebagai bagian integral dari keseluruhan upaya  pendidikan. Petugas yang secara khusus melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling pada saat itu disebut Guru Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP).Sejak diberlakukannya kurikulum 1994, sebutan untuk Guru BP berubah menjadi  Guru Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun  1995 tentang  Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.025/0/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya antara lain mengandung arahan dan ketentuan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan guru pembimbing di SLTP dan SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut  mengandung hal-hal yang berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling, tetapi tugas itu dinyatakan sebagai tugas guru (dengan sebutan guru pembimbing) dan tidak secara eksplisit
dinyatakan sebagai tugas konselor. Hal ini dapat dipahami karena sebutan konselor belum ada dalam perundangan. Penggunaan sebutan guru, sangat merancukan konteks tugas guru yang mengajar dan konteks tugas konselor sebagai penyelenggara pelayanan ahli bimbingan dan konseling. Guru pembimbing yang pada saat ini ada di lapangan pada hakikatnya melaksanakan tugas sebagai  konselor,  tetapi sering diperlakukan dan diberi tugas layaknya guru mata pelajaran.   Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan belajar mengajar di kelas yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan pelayanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (ABKIN: 2007). Dalam  Kurikulum  Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006), posisi dan arah layanan bimbingan dan konseling di sekolah sesungguhnya mengalami kemunduran, karena adanya pemahaman tentang konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya, dengan ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya. Bimbingan dan konseling dibawa ke wilayah pembelajaran yang berpayung pada standar isi,  bimbingan dan konseling menjadi bagian dari standar isi yang dituangkan menjadi pengembangan diri dan menjadi salah satu komponen kurikulum.Sebagaimana telah dinyatakan bahwa layanan bimbingan dan konseling disekolah merupakan bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan dalam
jalur pendidikan formal dan layanan ini meskipun dilakukan oleh pendidik yang
disebut sebagai konselor, tetapi ekspektasi kinerja profesionalnya berbeda dengan ekspektasi kinerja profesional yang dilakukan oleh guru. Jika ekspektasi kinerja guru menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya, maka ekspektasi kinerja konselor tidak demikian. Ekspektasi kinerja konselor tidak meggunakan materi pelajaran dalam koteks layanan keahliannya (bimbingan dan konseling), melainkan menggunakan proses pengenalan diri  peserta didik (konseli) dengan memahami kekuatan dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan yang terdapat dalam ligkungannya, untuk menumbuhkembangkan kemandirian dalam mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya, sehingga mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir (kemajuan hidup) untuk mencapai  hidup yang efektif, produktif, dan sejahtera dalam konteks kemaslahatan umum.Bimbingan dan konseling merupakan  upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi  peserta didik  mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku efektif, pengembangan lingkungan perkembangan, dan peningkatan keberfungsian individu di dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan, yakni proses interaksi antara individu dengan lingkunganperkembangan melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan lingkungan perkembangan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memperhalus perilaku. Posisi bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal seperti tertera pada Gambar 1, mengindikasikan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari program pendidikan. Dengan demikian, posisi guru bimbingan dan konseling (dalam Pasal 1 ayat 6 UU RI No. 20/2003 disebut konselor) sejajar dengan guru bidang studi/mata pelajaran dan administrator Sekolah/Madrasah. Demikian pula dalam Permendiknas No. 22/2006  menempatkan pelayanan bimbingan dan  konseling sebagai bagian integral dari standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah.














Gambar 1. Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan

Merujuk pada UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan
untuk guru pembimbing  dinyatakan dalam sebutan ‟Konselor.”  Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU RI No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik,
termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan  settingpelayanan spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.

D. PRINSIP DASAR LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM
IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
1. Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling
Bimbingan adalah upaya/proses fundamental pada setiap ikhtiar pendidikan, baik
pendidikan formal, non-formal maupun informal. Dalam ketiga bentuk pendidikan
tersebut, proses bimbingan (guidance) dipastikan selalu melekat di dalamnya.
Berbeda dengan pengajaran, yang tidak selalu harus ada di dalam setiap bentuk
pendidikan tersebut.  Bimbingan  pada  hakikatnya merupakan  proses memfasilitasi pengembangan nilai-nilai inti karakter melalui proses interaksi yang empatik antara konselor (guru bimbingan dan konseling) dengan  peserta didik,    dimana konselor membantu peserta didik untuk mengenal  kelebihan dan kelemahan dalam berbgai aspek perkembangan dirinya, memahami peluang dan tantangan yang ditemukan di lingkungannya, serta mendorong penumbuhan kemandirian peserta didik (konseli) untuk mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya secara bertanggung jawab  dan mampu mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, bahagia serta peduli terhadap kemaslahatan umat manusia.Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, tetapiyang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya dalam aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moralspiritual.
Di manapun proses pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses perkembangan, karena setiap peserta didik adalah seorang individu yang sedang
berada dalam proses berkembang atau menjadi (on-becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan (guidance), agar memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya dan lingkungannya serta  pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Alasan lain adalah adanya perbedaan individual pada peserta didik dan keniscayaan bahwa proses perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus, dalam alur yang  lurus,  searah dengan potensi, harapan dan nilainilai yang dianut. Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial yang selalu berubah dan mempengruhi gaya hidup (life style). Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayanganpornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup peserta didik (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika,  ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003), yaitu:  (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta  (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan  pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Dalam abad 21 ini,  setiap peserta didik dihadapkan pada situasi kehidupan yang  kompleks dan penuh tantangan. Dalam konstelasi kehidupan seperti ini, setiap peserta didik memerlukan berbagai kompetensi hidup agar mampu menjadi individu yang efektif, produktif dan bermaslahat bagi orang lain.
Untuk mengembangkan kompetensi hidup seperti ini, maka sistem pelayanan
pendidikan di sekolah yang efektif tidak cukup hanya dengan mengandalkan
pelayanan manajemen dan pembelajaran mata pelajaran saja, melainkan  perlu disertai dengan pelayanan bantuan khusus yang lebih bersifat psiko-pedagogisberbasis kepakaran. Layanan bantuan khusus (berbasis kepakaran)membantu peserta didik  agar mampu  menghindari perilaku negatif dan pada saat yang sama mampu mengembangkan perilaku normatif dan efektif untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan di atas, adalah dengan mengembangkan potensi peserta didik dan memfasilitasi mereka  secara sistematik, terprogram dan kolaboratif untuk mampu mencapai standarkompetensi nilai perkembangan/perilaku atau karakter yang diharapkan. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif, intensional dan kolaboratif yang diselenggarakan dengan berbasis data perkembangan peserta didik secara komprehensif  dalam berbagai aspek kehidupannya. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu  bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingandan  konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan
konseling, hanya akan menghasilkan peserta didik yang pintar dan terampil
dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan
dalam aspek kepribadian.Pelayanan bimbingan dan konseling  didasarkan kepada upaya pencapaian  tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalahmasalah peserta didik sebagai suatu keutuhan yang diselenggarakan secara intensif dan kolaboratif. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi  belajar, pribadi, sosial dan moral-spiritual, serta karir  yang harus dicapai  tiap  peserta didik sesuai usia kronologisnya, sehingga pendekatan ini disebut juga  sebagai  bimbingan dan konseling berbasis  nilai-nilai inti karakter. Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian yang telah dirumuskan berdasarkan hasil penelitian selama 5 tahun dan telah diimplementasikan di berbagai jenjang dan jalur pendidikan. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara guru bimbingan dan konseling/ konselor dengan para personal Sekolah/Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua peserta didik, dan pihak-pihak terkait lainnya. Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para peserta didik agar dapat mengembangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara utuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.  Atas dasar itu, maka  implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi  peserta didik,  yang meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi peserta didik sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).

2. Kolaborasi  Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor, Guru
Matapelajaran    dan Orang Tua dalam Pengembangan  Kemandirian
sebagai Nilai Inti Karakter
Pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan membantu peserta didik dalam pengenalan diri, pengenalan lingkungan dan pengambilan keputusan, serta memberikan arahan terhadap perkembangan peserta didik;  dan  tidak hanya untuk peserta didik bermasalah tetapi menyangkut seluruh peserta didik. Pelayanan bimbingan dan konseling tidak terbatas pada peserta didik tertentu  atau yang perlu  „dipanggil‟  saja”, melainkan untuk seluruh peserta didik (Guidance and counseling for all).Di dalam Permendiknas No. 23 tahun  2006 dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta didik melalui proses pembelajaranbidang studi, maka kompetensi peserta didik  yang harus dikembangkan melalui  pelayanan bimbingan dan konseling adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) untuk mewujudkan diri  (self actualization) dan pengembangan kapasitasnya  (capacity development) yang dapat mendukung pencapaian kompetensi lulusan. Sebaliknya, kesuksesan peserta didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang terwujudnya pengembangan kemandirian.
Dalam hal ini kerjasama antara guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran  merupakan suatu keharusan. Persamaan, keunikan, dan  keterkaitan wilayah pelayanan guru mata pelajaran  dan  guru bimbingan dan konseling/ konselor dalam konteks pencapaian standar kompetensi peserta didik disajikan pada Gambar 2.

PERKEMBANGAN OPTIMUM PESERTA DIDIK:
BELAJAR, PRIBADI, SOSIAL DAN KARIR
Add caption




Gambar 2. Hubungan Kolaboratif Wilayah Kerja
Guru bimbingan dan konseling/Konselor dan Guru Matapelajaran

Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh guru mata pelajaran,  guru bimbingan dan konseling/konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan (kolaboratif)  antara guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan (referal). Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru mata pelajaran pada saat pembelajaran dirujuk kepada  guru bimbingan dan konseling/konselor untuk penanganannya. Demikian pula masalah yang ditangani guru bimbingan dan konseling/konselor dirujuk kepada  guru mata pelajaranuntuk menindaklanjutinya apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata pelajaran. Masalah kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri. Ini berarti bahwa di dalam pengembangan dan proses pembelajaran bermutu, fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian  guru mata pelajaran, dan sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran mata pelajaran perlu mendapat perhatian guru bimbingan dan konseling/konselor.  Layanan bimbingan dan konseling diperuntukan bagi semua  (guidance and counseling for all), dan oleh karena itu tidaklah tepat jika orientasinya hanya kepada pemecahan masalah, melainkan mencakup orientasi pengembangan (developmental) dan pemeliharaan (maintanance) serta pencegahan (preventive)secara menyeluruh. Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya memfasilitasi perkembangan individu (dalam aspek pribadi, sosial, belajar, dan  karir) ke arah kemandirian (dalam hal menetapkan pilihan, mengambil keputusan, dan tanggung jawab atas pilihan dan keputusan sendiri) untuk mewujudkan diri (self-realization) dan mengembangkan kapasitas (capacity development). Prinsip bimbingan dan konseling untuk semua mengandung arti bahwa target populasi layanan bimbingan dan  konseling dalam jalur pendidikan formal termasuk para peserta didik yang berbakat dan berkebutuhan khusus, terutama yang memiliki kecakapan intelektual normal.  Layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus akan amat erat kaitannya dengan kegiatan hidup sehari-hari (daily living activities)  yang tidak  terisolasi dari konteks. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus merupakan layanan intervensi tidak langsung yang akan lebih terfokus pada upaya mengembangkan lingkungan perkembangan (inreach  maupun outreach) bagi kepentingan dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik, yang akan melibatkan banyak pihak di dalamnya terutama guru pendidikan khusus dan orang tua. Demikian pula bimbingan dan konseling bagi anak berbakat,  tidak  diperlakukan dan  dipandang sebagai upaya yang luar biasa, melainkan dilihat sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional, baik di tingkat satuan pendidikan maupun individual. Oleh karena itu, pencapaian prestasi luar biasa misalnya prestasi dalam olimpiade fisika, olimpiade matematika dan dalam berbagai mata pelajaran lain, sejajar dengan keberbakatan bidang olah raga, misalnya   bulutangkis, tinju, catur, yang memang memerlukan takaran latihan lebih dari yang diperlukan oleh peserta didik pada umumnya. Di bidang pendidikan pada umumnya, sebagai hasil pendidikan nasional, diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat dan dituntun keimanan, yang menghargai keragaman dalam ragam kehidupan berbangsa (bhineka), akrab dan fasih iptek serta menguasai softskills, serta bugar scara fisik di samping memiliki kebiasaan hidup sehat.

E. KERANGKA PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM
KURIKULUM2013

Merujuk Gambar 1 tentang posisi bimbingan dan konseling dalam  pendidikan, konteks tugas konselor dalam pendidikan adalah dalam proses pengenalan diri oleh pesera didik (konseli) beserta peluang dan tantangan yang ditemukannya  dalam lingkungan, sehingga peserta didik mandiri mengambil keputusan penting perjalanan hidupnya (belajar, pribadi, sosial dan karir) dalam rangka mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan bahagia serta peduli kepada kemaslahatan umum, melalui berbagai upaya yang dinamakan pedidikan. Fokus layanan bimbingan dan konseling adalah menumbuh-kembangkan kompetensi kemandirian sebagai nilai inti karakter. Dalam konteks ini, perlu dikembangkan: (a) sikap dan  berperilaku baik, jujur dan etis; (b) belajar bertanggungjawab; (c) disiplin, kerja keras dan efisien; (d) kesadaran kultural sebagai warganegara, seperti peduli, toleran, saling menghargai; dan (e) peningkatan pengetahuan dan keterampilan hidup sesuai dengan tingkat perkembangan.Program bimbingan dan konseling di sekolah bukan merupakan aktivitasbekstrakurikuler, melainkan merupakan suatu program yang secara sistematis diarahkan untuk mengoptimalkan  pencapaian kompetensi perkembangan setiap peserta didik dalam aspek pribadi, sosial, belajar dan karirnya secara utuh dimana nilai inti karakter melekat di dalam semua bidang layanan tersebut.Konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan target populasi layanan bimbingan dan konseling, sebagai layanan ahli, seorang guru bimbingan dan konseling/konselor memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling yang berorientasi pengembangan dan pemeliharaan karakter, dan melayani seluruh peserta didik, dengan kerangka program kerja utuh yang meliputi komponen-komponen sebagai  berikut. Layanan Dasar, yaitu layanan yang bersifat antisipatoris, preventif dan pengembangan. Layanan ini diperuntukan bagi semua peserta didik tanpa terkecuali. Layanan dasar  diarahkan untuk pengembangan  kompetensi perkembangan  sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan peserta didik. Layanan ini dapat dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling/konselor sendiri maupun dengan kolaborasi antara guru bimbingan dan konseling/konselor, guru mata pelajaran,  orang tua, dan  pakar  yang berada  di luar sekolah. Bentuk layanan yang diupayakan antara lain:
(1)  Penyelenggaraan asesmen dalam  berbagai aspek  perkembangan seperti data demografis, hasil belajar, bakat, minat, kecerdasan, kepribadian, kebiasaan belajar dan jaringan hubungan sosial;
(2) Advokasi dan fasilitasi pemilihan rumpun/bidang keilmuan yang diminati melalui proses konseling, konsultasi dan layanan lain yang relevan.
(3) Bimbingan klasikal atau bimbingan kelompok  yang diselenggarakan  secara regular dan terjadual dengan menggunakan metode dan teknik khas bimbingan dan konseling yang menarik, interaktif, menyenangkan, dan reflektif.  Jika diperlukan, bimbingan klasikal dimaksud bisa dilakukan secara kolaboratif bersama guru bidang studi pada saat pembelajaran berlangsung.
(4) Pengembangan perilaku jangka panjang yang menunjang kesuksesan belajar, pengembangan pribadi dan sosial, dan karir peserta didik. Layanan ini dilakukan dengan “membelajarkan” peserta didik atas topik-topik yang relevan dengan kebutuhan peserta didik seperti  sikap dan keterampilan belajar, pemecahan masalah, hubungan sosial, keterampilan komunikasi yang efektif, negosiasidan manajemen konflik, pengembngan sikap toleran, kepercayaan diri, konsep diri, pengendalian emosi, kerja sama, perilaku etis, kreativitas, disiplin,  Say No to Drugs, dan sebagainya.
(5) Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling dan penggunaannya untuk asesmen perkembangan baik dalam kegiatan khusus maupun kegiatan tatap muka terjadwal di kelas sangat diperlukan untuk implementasi komponen ini. Mengacu kepada prinsip kolaborasi guru  mata pelajaran  bisa mendukung pencapaian kompetensi belajar peserta didik melalui pengembangan  nuturant effect pembelajaran.Layanan Responsif, yaitu layanan yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik memecahkan masalah (pribadi, sosial, belajar, karir) yang dihadapinya pada saat ini dan memerlukan pemecahan segera. Penggunaan instrumen pemahaman peserta didik diperlukan untuk mendeteksi masalah apa yang perlu dientaskan. Di sinilah layanan konseling individual maupun kelompok diperlukan dengan segala perangkat pendukungnya.Layanan Perencanaan Individual, yaitu layanan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi peserta didik secara individual di dalam merencanakan masa depannya berkenaan dengan kehidupan akademik maupun karir. Pemahaman peserta didik secara mendalam dengan segala karakteristiknya dan penyediaan informasi yang akurat sesuai dengan peluang dan potensi yang dimiliki peserta didik amat diperlukan, sehingga peserta didik mampu memilih dan mengambil keputusan yang tepat  dalam mengembangkan potensinya secara optimal, termasuk  peminatan,  keberbakatan, dan kebutuhan khusus peserta didik.Kegiatan orientasi, informasi, konseling individual, rujukan, kolaborasi, dan advokasi  diperlukan dalam implementasi layanan ini.Dukungan Sistem dan Kolaboratif, yaitu kegiatan yang terkait dengan dukungan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya Teknologi Informasi dan Komunikasi), kolaborasi atau konsultasi dengan berbagai pihak yang dapat membantu peserta didik, pelatihan pembelajaran bernuansa bimbingan dan konseling bagi guru mata pelajaran, termasuk pengembangan kemampuan guru BK/konselor secara berkelanjutan sebagai profesional.Pengaturan proporsi layanan setiap komponen program bimbingan dan konseling di sekolah  dalam Kurikulum 2013 dapat diatur  dalam pedoman berikut.

BENTUK LAYANAN                               SD                                     SMP                                       SMA/SMK

Layanan Dasar                        35  – 45 %                   25 – 35 %                    15 – 25 %

Layanan Responsif                 30 – 40 %                    30 -  40 %                    25 – 35 %

Layanan Perencanaan
Individual                               15 – 10 %                    15 – 25 %                    25 – 35 %                   

Dukungan Sistem dan
Kolaboratif                              10 – 15 %                    10 – 15 %                    15 – 20 %

Dengan rasio guru bimbingan dan konseling/Konselor dibanding  peserta didik =1:150 dan dengan beban tugas 24 - 40 jam/minggu (PP No. 74/2008 tentang Guru) maka perhitungan ekuwivalensi tugas  guru bimbingan dan konseling/ konselor 24 -40 jam dan 150 siswa perminggu sebagai berikut.



BENTUK LAYANAN BIMBINGAN                               PEMBAGIAN WAKTU PELAYANA DI SMA/SMK
24 – 40 jam kerja

Layanan Dasar                                                20 % X (24  -  40 jam kerja)   =  5 – 8 jam kerja
Layanan Responsif                                         35 % X (24  – 40 jam kerja)   =  8 – 14 jam kerja
Layanan Perencanaan Individual                    30 % X (24  -  40 jam kerja)  =   7 – 12 jam kerja
Dukungan sistem dan Kolaboratif                  15 % X (24  -  40 jam kerja)  =   4 – 6 jam kerja


F. PENGEMBANGAN PEDOMAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Rumusan  kompetensi perkembangan atau kemandirian, dan kerangka program layanan bimbingan dan konseling sudah ada pada buku  yang disiapkan oleh ABKIN bersama dan atas dukungan Direktorat Jenderal PMPTK, yakni  RambuRambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (ABKIN; Ditjen PMPTK:  2008). Untuk selanjutnya pedoman umum tersebut perlu dikembangkan lebih operasional berupa:1. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar dan Sederajat.
2. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Pertama dan Sederajat.
3. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah
Atas dan Sederajat.
4. Pedoman Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah
Kejuruan dan Sederajat.


G. PENYIAPAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING/KONSELOR
PROFESIONAL

Kebutuhan Guru Bimbingan dan Konseling sebanyak 92.572 sebagaimana
diberitakan  Harian Kompas (Rabu, 23 Januari 2013), menghendaki penyiapan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor secara sungguh-sungguh dan profesional. Dengan berpayung pada UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, penyiapan guru bimbingan dan konseling/konselor profesional disiapkan di LPTK melalui pendidikan akademik S1 bidang Bimbingan dan Konseling dan Pendidikan Profesi Konselor sebagai suatu keutuhan sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Indonesia.


DAFTAR RUJUKAN.


Depdiknas RI, 2008, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Ditjen PMPTK, 2007, Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Harian Kompas, 23 Januari 2013, “Sekolah kekurangan 92.572 Guru Bimbingan dan Konseling.”
Peraturan Pemerintah RI, 2005, Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah RI, 2008, Nomor 74 tentang Guru.
Permendiknas RI, 2008, Nomor 27 tentang  Standar Kualifikasi akademik dan Kompetensi Konselor.
Permendiknas RI, 2009, Nomor 8 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra jabatan.UU RI, 2003, Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bandung, 25 Januari 2013


Kami yang bertanda tangan :

1. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Himpunan Sarjana  Bimbingan dan Konseling Indonesia (HSBKI),  unsur Himpunan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)Prof. Furqon, M.Pd., MA., Ph.D.                                                     =  ……………………………
2. Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling Nasional (MGBK N)Syamsudin, M.Pd
 = ………………………
3. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Ketua Forum Komunikasi Jurusan/Program Studi  Bimbingan dan Konseling Indonesia (FK- JPBKI)
Dr. Nandang Rusmana, M.Pd.
 = ……………………..
4. Magister Bimbingan dan Konseling/ Ketua Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)Drs. Amdani Sarjun, M.Pd.
= …………………………
5. Doktor Bimbingan dan Konseling/ Sekretaris  Ikatan Pendidik dan Supervisi Konseling (IPSIKON), divisi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)Dr. Agus Taufiq, M.Pd. 
= ……………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar